Pengalaman Hidup Para Pemburu Obat Profesional
VICE
Diterbitkan : 19/01/2017 15:38
Apabila Anda selesai membaca buku The Drug Hunters yang baru saja terbit—ditulis konsultan industri farmasi Donald Kirsch tentang sejarah obat-obatan populer semacam aspirin, penisilin, dan insulin—maka kemungkinan besar anda tidak akan optimis menatap masa depan dunia kesehatan.
Penyakit berat zaman dulu seperti skorbut (kekurangan vitamin V) pernah dikira tidak ada obatnya. Sekarang tinggal makan jeruk, sembuh deh. Tapi hingga pertengahan 1930-an, manusia bahkan tidak tahu ada zat yang namanya vitamin C. Selama beberapa generasi, skorbut diobati menggunakan asam belerang. Itu ibaratnya mengobati kanker perut dengan cara ditonjok. Barulah pertengahan Abad 18 seorang dokter asal Skotlandia, bernama James Lind, kebetulan menemukan ide menarik—bahwa makan jeruk bisa mengobati pendarahan gusi.
Bagaimana konsep keberuntungan ini diterapkan dalam konteks dunia farmasi modern? Penyakit berat seperti kanker sepertinya sangat rumit dan mengerikan. Tapi mungkin saja, sama seperti skorbut dulu, ada solusi sederhana dapat mengobati kanker yang belum kita sadari. Mungkin 100 tahun lagi, semua orang akan ngomong, "Yaelah dulu orang sering banget ya kena kanker? Padahal obatnya tinggal makan rumput doang!"
Yang dibutuhkan hanyalah satu orang yang berani melakukan eksperimen sederhana—seperti layaknya dulu ketika Lind menyuruh para pelaut kekurangan vitamin C banyak makan jeruk—agar menjadi solusi menyelamatkan nyawa jutaan orang. Tapi apa iya semudah itu?
Kami menelpon Kirsch, mengajaknya bicara tentang metode mengobati penyakit-penyakit sulit, perjuangan dalam upaya menemukan obat, dan bagaimana profesinya melibatkan sedikit unsur untung-untungan.
Saya masih tidak yakin apakah buku anda memberi harapan atau menakut-nakuti pembaca awam. Secara tidak langsung anda mengatakan bahwa kemampuan manusia menemukan obat-obatan selama ini hanya berkat keberuntungan semata.
Donald Kirsch: Lebih tepatnya keberuntungan yang ditopang kecerdasan sih. Seperti kutipan terkenal diucapkan oleh Louis Pasteur, ahli kimia asal Perancis abad 19: "Kesempatan hanya akan memihak mereka yang siap." Ya mungkin saja ucapan ini benar, tapi memang tak peduli seberapa pintar atau seberapa banyak pengetahuan yang kita miliki, tetap saja ujung-ujungnya anda butuh keberuntungan untuk menemukan obat suatu penyakit.
Mengingat tidak terbatasnya kemungkinan bahan kimia dasar yang perlu digunakan, dan sulitnya mencari kombinasi yang pas, gila gak sih manusia bahkan bisa bikin obat di zaman dulu?
Kalau Anda melihat statistiknya, memang luar biasa. Pernah ada pengusaha yang berinvestasi dalam bisnis penelitian obat ngomong ke saya. "Kenapa sih, kamu engga ngetes semua bahan yang mungkin bisa jadi obat sekaligus dalam satu waktu?" Dia pikir metode semacam itu bakal menghemat waktu.
Seharusnya Anda bilang saja 'idemu ngawur pak!'
Saya selalu berusaha sopan, jadi saya jawab, "Oke, nanti saya buatkan rencana penelitian dulu ya." Ada sebuah penelitian keren dilakukan oleh (perusahaan farmasi Swiss) Ciba-Geigy di pertengahan 90-an yang membeberkan perhitungan di balik jumlah total bahan dasar obat: 3 x 1062.
Itu angka apaan sih?
Itu angka yang besar sekali. Ya udah terus saya bilang ke si pengusaha, "Saya butuh semua 3 x 1062 bahan dasar yang mungkin bisa berhasil menjadi obat. Mengingat ini semua ide Anda, saya yakin dana engga jadi masalah. Oh iya, saya juga butuh tempat untuk menyimpan semua bahan ini.
Anda ngerjain dia ya?
[Tertawa.] Sedikit. Saya bilang ke dia, "Kalau saya ambil satu molekul dari setiap bahan dan dipadatkan bersama menggunakan massa jenis air yang sama, saya akan butuh sebuah ruangan kimia yang panjangnya kurang lebih setara jarak pusat matahari sampai ke sabuk asteroid. Jadi tolong dua hal ini diurusin ya?"
Dia langsung kabur ya begitu Anda bilang begitu?
Yup.
Apakah ini yang bikin profesi pemburu obat jadi seru? Bahwa peluang Anda untuk berhasil sangat kecil? Bahwa tidak ada penjelasan rasional yang bisa menjamin bahwa Anda akan menyelamatkan dunia? Anda pasti orang yang optimis sekali ya.
Saya lebih suka istilah pemimpi yang optimis. Istri kerap mengkritik karena saya terlalu banyak bermimpi, tapi kayaknya pola pikir ini sudah tertanam di DNA saya.
Profesi ini sudah jodoh Anda ya?
Dulu saya pernah punya bos yang ngomong, "kamu mau batu nisanmu ditulisi apa? Pilih mana, kamu pernah naik kapal pesiar mewah semasa hidup, atau nisanmu bertuliskan pernah menyembuhkan sebuah penyakit?" Kayaknya pemikiran semacam ini yang mendorong orang-orang terjun ke profesi ini. Kita semua ingin melakukan sesuatu yang bermakna, sesuatu yang akan bertahan lama setelah kita meninggal. Untuk saya pribadi, saya ingin membantu orang-orang yang sakit.
Ketika masih muda, semua orang punya mimpi-mimpi besar. Penulis amatir berharap bisa menulis novel yang mencengangkan semua orang. Aktor berharap bisa sehebat Marlon Brando. Apakah ini juga berlaku bagi pemburu obat?
Bahwa kita ingin jadi terkenal?
Mungkin bukan terkenal, tapi sewaktu Anda masih muda dan ambisius, pernah gak sih kepikiran, "Gue bakal jadi penemu obat kanker!"
Semua orang punya alasannya sendiri-sendiri. Mungkin ada anggota keluarga yang meninggal akibat penyakit tertentu dan mereka ingin menemukan obatnya. Tapi buat saya dan banyak pemburu obat lainnya, harapan kami tidak muluk-muluk. "Oh, gue bakal meningkatkan daya tahan manusia, oh gue bakal bikin negara gue jadi nomor satu lagi di bidang farmasi." Susah untuk engga mikir kayak gini. Ya siapa juga sih yang engga mau nemuin obat kanker?
Kalau betul-betul ketemu, pasti nanti banyak universitas yang dinamakan berdasarkan nama Anda.
Pastinya. Tapi bisa juga kan saya fokus di penyakit yang lebih ringan, yang mungkin hanya diidap 10.000 orang di seluruh dunia tapi kemudian berhasil saya sembuhkan? Itu juga lumayan. Saya hanya ingin pencapaian semacam itu tertulis di batu nisan saya nanti. "Orang ini menyembuhkan 10.000 orang sakit." Itu sudah bagus.
Anda menulis di buku, bahwa pemburu obat "berusaha menemukan obat A, tapi ujung-ujungnya malah memperoleh obat B." Ini maksudnya gimana?
Contohnya eter. Selama bertahun-tahun, eter digunakan mengobati sakit kepala, vertigo, epilepsi, kelumpuhan, histeria, dan reumatik. Padahal tidak ada efeknya sama sekali. Sampai akhirnya satu hari seorang dokter gigi bernama William Morton mengatakan, "Saya akan coba menggunakan eter untuk membius orang." Hasilnya sukses. Ini terjadi pertengahan 1840-an. Kenapa juga di tahun 1740-an tak ada orang yang menyadari fungsi eter yang benar? Ya tidak ada alasannya. Cuma belum ada yang kepikiran saja.
Ilham semacam ini masih terjadi sampai sekarang. Obat yang dulu digunakan untuk penderita Alzheimer ternyata berfungsi menumbuhkan ulang gigi manusia. Gila kan.
Ingat engga, dulu Minoxidil dipakai mengobati tekanan darah tinggi? Memang sih khasiatnya tidak pas, tapi lumayan lah. Sekarang Minoxidil malah dipakai menumbuhkan rambut pengidap kebotakan, dengan cara dioles di kulit kepala. Waktu itu ada yang melihat seorang pasien rutin meminum Minoxidil terus sadar, "Wah rambutnya jadi tambah tebal ya." Ini kan sebetulnya hanya observasi cerdas yang ada unsur untung-untungan saja.
Di buku Anda, ada cerita tentang dokter Skotlandia yang mencoba menghirup berbagai macam zat hanya karena penasaran pada efeknya.
Dan hasilnya sukses! Dia menemukan kloroform (materi pemisah zat tak larut dalam air-red).
Banyak orang meninggal juga gara-gara bereksperimen sendiri kayak gitu.
Makanya perlu ada sistem pengujian yang layak.
Anda ketika bereksperimen di lab apa seperti remaja nyampur-nyampur alkohol seenaknya di lab sekolah?
[Tertawa.] Enggaklah. Kita tidak akan memakai tubuh kita sendiri sebagai kelinci percobaan, tapi teorinya sama. Kita cenderung terlalu mengandalkan akal sehat. Kadang-kadang kesuksesan datang dari coba-coba aja.
Untuk menjadi seorang pemburu obat, kayaknya anda mesti agak-agak gila ya?
Anda mesti lumayan gila. Ini adalah profesi yang tidak masuk akal di atas kertas. Setelah menghabiskan waktu yang lama untuk belajar, anda ngambil S2 atau S3, setelah akhirnya kelar, dan mendapat pekerjaan, gajinya toh tak seberapa.
Gajinya parah banget emang?
Bayaran pemburu obat sama sekali tidak mendekati bayaran dokter atau pengacara.
Kok engga masuk akal ya. Kalau kita ngomongin prinsip ekonomi berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, apalagi sih yang lebih banyak dicari orang daripada obat yang bisa menyembuhkan penyakit?
Saya bukan ahli ekonomi, tapi biasanya karir yang menyenangkan dan memuaskan bayarannya ,emang rendah. Berburu obat adalah bisnis yang sangat kreatif. Anda mengikuti gairah, biarpun tidak ada jaminan akan hasil yang memuaskan. Mau tak mau gaji harus anda korbankan ketika Anda melakukan pekerjaan semacam ini.
Bos-bos dunia farmasi pasti ada andilnya kan ke situasi ini? Mereka hanya mau mengeluarkan uang ketika penelitian berpotensi menguntungkan mereka. Imbasnya pekerja-pekerja level bawah jadi korbannya.
Iya, rata-rata semua orang setuju dengan pernyataan itu. Saya baru saja mendengarkan konferensi pers Donald Trump minggu lalu ketika dia mengkritik industri farmasi.
Dia mengatakan perusahaan farmasi secara tidak langsung "membunuh orang dan tidak dijatuhi hukuman."
Iya, iya. Saya engga setuju sih dengan pernyataan Trump tersebut. Perusahaan-perusahaan farmasi besar memang tidak sempurna, tapi juga penuh paradoks.
Maksudnya?
Gini, farmasi kan industri yang berkaitan dengan nyawa dan kesehatan seseorang. Mereka berusaha mencari uang dari hal-hal yang sifatnya sangat vital. Sudah situasinya akan rumit.
Oke, tapi ada dugaan banyak perusahaan-perusahaan tersebut bertujuan membuat pasien ketagihan minum obat dan bukannya mencari penyembuh.
Mungkin bukan ketagihan ya. Itu agak berlebihan. Gini deh: Sama seperti bisnis lain, ujung-ujungnya pasti uang. Di musim panas lalu, (perusahaan biofarmasi) Gilead dikritik habis-habisan karena menemukan obat untuk Hepatitis C dan dijual dengan harga tinggi.
Tapi profitnya gila-gilaan kan? Perawatan penuh dihargai $75 ribu (Rp1 milyar).
Emang harganya sangat mahal. Tapi ini obat yang dijamin bisa menyembuhkan Hepatitis C, jadi wajar mereka mencari profit dari situ.
Tetep saja mahal lho itu.
Saya pernah mendengar seseorang dari kelompok kesehatan masyarakat yang mengatakan bahwa apabila anda mengidap Hepatitis C, anda harus mencoba berbagai macam pengobatan alternatif untuk bertahan hidup. Biarpun harga yang dipasang Gilead mahal, tetap saja itu lebih murah dibanding biaya perawatan seseorang selama bertahun-tahun, tanpa kepastian sembuh pula. Lagipula Hepatitis C itu penyakit menular. Anda bisa saja tertular dari orang lain. Karena obat ini, jumlah pengidap akan berkurang, yang berarti resiko tertular penyakit ini juga akan berkurang di masa mendatang. Melihat ide dasarnya, biarpun harga jualnya sementara ini sangat mahal, obat itu tetap berdampak baik terhadap masyarakat.
Penyakit berat zaman dulu seperti skorbut (kekurangan vitamin V) pernah dikira tidak ada obatnya. Sekarang tinggal makan jeruk, sembuh deh. Tapi hingga pertengahan 1930-an, manusia bahkan tidak tahu ada zat yang namanya vitamin C. Selama beberapa generasi, skorbut diobati menggunakan asam belerang. Itu ibaratnya mengobati kanker perut dengan cara ditonjok. Barulah pertengahan Abad 18 seorang dokter asal Skotlandia, bernama James Lind, kebetulan menemukan ide menarik—bahwa makan jeruk bisa mengobati pendarahan gusi.
Bagaimana konsep keberuntungan ini diterapkan dalam konteks dunia farmasi modern? Penyakit berat seperti kanker sepertinya sangat rumit dan mengerikan. Tapi mungkin saja, sama seperti skorbut dulu, ada solusi sederhana dapat mengobati kanker yang belum kita sadari. Mungkin 100 tahun lagi, semua orang akan ngomong, "Yaelah dulu orang sering banget ya kena kanker? Padahal obatnya tinggal makan rumput doang!"
Yang dibutuhkan hanyalah satu orang yang berani melakukan eksperimen sederhana—seperti layaknya dulu ketika Lind menyuruh para pelaut kekurangan vitamin C banyak makan jeruk—agar menjadi solusi menyelamatkan nyawa jutaan orang. Tapi apa iya semudah itu?
Kami menelpon Kirsch, mengajaknya bicara tentang metode mengobati penyakit-penyakit sulit, perjuangan dalam upaya menemukan obat, dan bagaimana profesinya melibatkan sedikit unsur untung-untungan.
Saya masih tidak yakin apakah buku anda memberi harapan atau menakut-nakuti pembaca awam. Secara tidak langsung anda mengatakan bahwa kemampuan manusia menemukan obat-obatan selama ini hanya berkat keberuntungan semata.
Donald Kirsch: Lebih tepatnya keberuntungan yang ditopang kecerdasan sih. Seperti kutipan terkenal diucapkan oleh Louis Pasteur, ahli kimia asal Perancis abad 19: "Kesempatan hanya akan memihak mereka yang siap." Ya mungkin saja ucapan ini benar, tapi memang tak peduli seberapa pintar atau seberapa banyak pengetahuan yang kita miliki, tetap saja ujung-ujungnya anda butuh keberuntungan untuk menemukan obat suatu penyakit.
Mengingat tidak terbatasnya kemungkinan bahan kimia dasar yang perlu digunakan, dan sulitnya mencari kombinasi yang pas, gila gak sih manusia bahkan bisa bikin obat di zaman dulu?
Kalau Anda melihat statistiknya, memang luar biasa. Pernah ada pengusaha yang berinvestasi dalam bisnis penelitian obat ngomong ke saya. "Kenapa sih, kamu engga ngetes semua bahan yang mungkin bisa jadi obat sekaligus dalam satu waktu?" Dia pikir metode semacam itu bakal menghemat waktu.
Seharusnya Anda bilang saja 'idemu ngawur pak!'
Saya selalu berusaha sopan, jadi saya jawab, "Oke, nanti saya buatkan rencana penelitian dulu ya." Ada sebuah penelitian keren dilakukan oleh (perusahaan farmasi Swiss) Ciba-Geigy di pertengahan 90-an yang membeberkan perhitungan di balik jumlah total bahan dasar obat: 3 x 1062.
Itu angka apaan sih?
Itu angka yang besar sekali. Ya udah terus saya bilang ke si pengusaha, "Saya butuh semua 3 x 1062 bahan dasar yang mungkin bisa berhasil menjadi obat. Mengingat ini semua ide Anda, saya yakin dana engga jadi masalah. Oh iya, saya juga butuh tempat untuk menyimpan semua bahan ini.
Anda ngerjain dia ya?
[Tertawa.] Sedikit. Saya bilang ke dia, "Kalau saya ambil satu molekul dari setiap bahan dan dipadatkan bersama menggunakan massa jenis air yang sama, saya akan butuh sebuah ruangan kimia yang panjangnya kurang lebih setara jarak pusat matahari sampai ke sabuk asteroid. Jadi tolong dua hal ini diurusin ya?"
Dia langsung kabur ya begitu Anda bilang begitu?
Yup.
Apakah ini yang bikin profesi pemburu obat jadi seru? Bahwa peluang Anda untuk berhasil sangat kecil? Bahwa tidak ada penjelasan rasional yang bisa menjamin bahwa Anda akan menyelamatkan dunia? Anda pasti orang yang optimis sekali ya.
Saya lebih suka istilah pemimpi yang optimis. Istri kerap mengkritik karena saya terlalu banyak bermimpi, tapi kayaknya pola pikir ini sudah tertanam di DNA saya.
Profesi ini sudah jodoh Anda ya?
Dulu saya pernah punya bos yang ngomong, "kamu mau batu nisanmu ditulisi apa? Pilih mana, kamu pernah naik kapal pesiar mewah semasa hidup, atau nisanmu bertuliskan pernah menyembuhkan sebuah penyakit?" Kayaknya pemikiran semacam ini yang mendorong orang-orang terjun ke profesi ini. Kita semua ingin melakukan sesuatu yang bermakna, sesuatu yang akan bertahan lama setelah kita meninggal. Untuk saya pribadi, saya ingin membantu orang-orang yang sakit.
Ketika masih muda, semua orang punya mimpi-mimpi besar. Penulis amatir berharap bisa menulis novel yang mencengangkan semua orang. Aktor berharap bisa sehebat Marlon Brando. Apakah ini juga berlaku bagi pemburu obat?
Bahwa kita ingin jadi terkenal?
Mungkin bukan terkenal, tapi sewaktu Anda masih muda dan ambisius, pernah gak sih kepikiran, "Gue bakal jadi penemu obat kanker!"
Semua orang punya alasannya sendiri-sendiri. Mungkin ada anggota keluarga yang meninggal akibat penyakit tertentu dan mereka ingin menemukan obatnya. Tapi buat saya dan banyak pemburu obat lainnya, harapan kami tidak muluk-muluk. "Oh, gue bakal meningkatkan daya tahan manusia, oh gue bakal bikin negara gue jadi nomor satu lagi di bidang farmasi." Susah untuk engga mikir kayak gini. Ya siapa juga sih yang engga mau nemuin obat kanker?
Kalau betul-betul ketemu, pasti nanti banyak universitas yang dinamakan berdasarkan nama Anda.
Pastinya. Tapi bisa juga kan saya fokus di penyakit yang lebih ringan, yang mungkin hanya diidap 10.000 orang di seluruh dunia tapi kemudian berhasil saya sembuhkan? Itu juga lumayan. Saya hanya ingin pencapaian semacam itu tertulis di batu nisan saya nanti. "Orang ini menyembuhkan 10.000 orang sakit." Itu sudah bagus.
Anda menulis di buku, bahwa pemburu obat "berusaha menemukan obat A, tapi ujung-ujungnya malah memperoleh obat B." Ini maksudnya gimana?
Contohnya eter. Selama bertahun-tahun, eter digunakan mengobati sakit kepala, vertigo, epilepsi, kelumpuhan, histeria, dan reumatik. Padahal tidak ada efeknya sama sekali. Sampai akhirnya satu hari seorang dokter gigi bernama William Morton mengatakan, "Saya akan coba menggunakan eter untuk membius orang." Hasilnya sukses. Ini terjadi pertengahan 1840-an. Kenapa juga di tahun 1740-an tak ada orang yang menyadari fungsi eter yang benar? Ya tidak ada alasannya. Cuma belum ada yang kepikiran saja.
Ilham semacam ini masih terjadi sampai sekarang. Obat yang dulu digunakan untuk penderita Alzheimer ternyata berfungsi menumbuhkan ulang gigi manusia. Gila kan.
Ingat engga, dulu Minoxidil dipakai mengobati tekanan darah tinggi? Memang sih khasiatnya tidak pas, tapi lumayan lah. Sekarang Minoxidil malah dipakai menumbuhkan rambut pengidap kebotakan, dengan cara dioles di kulit kepala. Waktu itu ada yang melihat seorang pasien rutin meminum Minoxidil terus sadar, "Wah rambutnya jadi tambah tebal ya." Ini kan sebetulnya hanya observasi cerdas yang ada unsur untung-untungan saja.
Di buku Anda, ada cerita tentang dokter Skotlandia yang mencoba menghirup berbagai macam zat hanya karena penasaran pada efeknya.
Dan hasilnya sukses! Dia menemukan kloroform (materi pemisah zat tak larut dalam air-red).
Banyak orang meninggal juga gara-gara bereksperimen sendiri kayak gitu.
Makanya perlu ada sistem pengujian yang layak.
Anda ketika bereksperimen di lab apa seperti remaja nyampur-nyampur alkohol seenaknya di lab sekolah?
[Tertawa.] Enggaklah. Kita tidak akan memakai tubuh kita sendiri sebagai kelinci percobaan, tapi teorinya sama. Kita cenderung terlalu mengandalkan akal sehat. Kadang-kadang kesuksesan datang dari coba-coba aja.
Untuk menjadi seorang pemburu obat, kayaknya anda mesti agak-agak gila ya?
Anda mesti lumayan gila. Ini adalah profesi yang tidak masuk akal di atas kertas. Setelah menghabiskan waktu yang lama untuk belajar, anda ngambil S2 atau S3, setelah akhirnya kelar, dan mendapat pekerjaan, gajinya toh tak seberapa.
Gajinya parah banget emang?
Bayaran pemburu obat sama sekali tidak mendekati bayaran dokter atau pengacara.
Kok engga masuk akal ya. Kalau kita ngomongin prinsip ekonomi berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, apalagi sih yang lebih banyak dicari orang daripada obat yang bisa menyembuhkan penyakit?
Saya bukan ahli ekonomi, tapi biasanya karir yang menyenangkan dan memuaskan bayarannya ,emang rendah. Berburu obat adalah bisnis yang sangat kreatif. Anda mengikuti gairah, biarpun tidak ada jaminan akan hasil yang memuaskan. Mau tak mau gaji harus anda korbankan ketika Anda melakukan pekerjaan semacam ini.
Bos-bos dunia farmasi pasti ada andilnya kan ke situasi ini? Mereka hanya mau mengeluarkan uang ketika penelitian berpotensi menguntungkan mereka. Imbasnya pekerja-pekerja level bawah jadi korbannya.
Iya, rata-rata semua orang setuju dengan pernyataan itu. Saya baru saja mendengarkan konferensi pers Donald Trump minggu lalu ketika dia mengkritik industri farmasi.
Dia mengatakan perusahaan farmasi secara tidak langsung "membunuh orang dan tidak dijatuhi hukuman."
Iya, iya. Saya engga setuju sih dengan pernyataan Trump tersebut. Perusahaan-perusahaan farmasi besar memang tidak sempurna, tapi juga penuh paradoks.
Maksudnya?
Gini, farmasi kan industri yang berkaitan dengan nyawa dan kesehatan seseorang. Mereka berusaha mencari uang dari hal-hal yang sifatnya sangat vital. Sudah situasinya akan rumit.
Oke, tapi ada dugaan banyak perusahaan-perusahaan tersebut bertujuan membuat pasien ketagihan minum obat dan bukannya mencari penyembuh.
Mungkin bukan ketagihan ya. Itu agak berlebihan. Gini deh: Sama seperti bisnis lain, ujung-ujungnya pasti uang. Di musim panas lalu, (perusahaan biofarmasi) Gilead dikritik habis-habisan karena menemukan obat untuk Hepatitis C dan dijual dengan harga tinggi.
Tapi profitnya gila-gilaan kan? Perawatan penuh dihargai $75 ribu (Rp1 milyar).
Emang harganya sangat mahal. Tapi ini obat yang dijamin bisa menyembuhkan Hepatitis C, jadi wajar mereka mencari profit dari situ.
Tetep saja mahal lho itu.
Saya pernah mendengar seseorang dari kelompok kesehatan masyarakat yang mengatakan bahwa apabila anda mengidap Hepatitis C, anda harus mencoba berbagai macam pengobatan alternatif untuk bertahan hidup. Biarpun harga yang dipasang Gilead mahal, tetap saja itu lebih murah dibanding biaya perawatan seseorang selama bertahun-tahun, tanpa kepastian sembuh pula. Lagipula Hepatitis C itu penyakit menular. Anda bisa saja tertular dari orang lain. Karena obat ini, jumlah pengidap akan berkurang, yang berarti resiko tertular penyakit ini juga akan berkurang di masa mendatang. Melihat ide dasarnya, biarpun harga jualnya sementara ini sangat mahal, obat itu tetap berdampak baik terhadap masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar